TEORI FEMINISME DALAM GENDER
Pandangan
bahwa feminis datang dari barat adalah salah, tetapi istilah feminis
dan konseptualisasi mungkin datang dari Barat bisa dibenarkan. Sejarah
feminis telah dimulai pada abad 18 oleh RA Kartini melalui hak yang sama
atas pendidikan bagi anak-anak perempuan. Ini sejalan dengan Barat di
masa pencerahan/The Enlightenment , di Barat oleh Lady Mary Wortley
Montagu dan Marquis den Condorcet yang berjuang untuk pendidikan
perempuan. Perjuangan feminist sering disebut dengan istilah
gelombang/wave dan menimbulkan kontroversi/perdebatan, mulai dari
feminis gelombang pertama (first wave feminism) dari abad 18 sampai ke
pra 1960, kemudian gelombang kedua setelah 1960, dan bahkan gelombang
ketiga atau Post Feminism. Istilah feminis kemudian berkembang secara
negatif ketika media lebih menonjolkan perilaku sekelompok perempuan
yang menolak penindasan secara vulgar (mis: membakar bra). Sebenarnya,
setiap orang yang menyadari adanya ketidak adilan atau diskriminasi yang
dialami oleh perempuan karena jenis kelaminnya, dan mau melakukan
sesuatu untuk mengakhiri ketidak adilan/diskriminasi tersebut, pada
dasarnya dapat disebut feminis. Batasan ini memang beragam dan terkadang
diperdebatkan, mulai dari apakah seseorang itu harus perempuan, bisakah
secara organisatoris serta merta disebut feminis, sampai di mana
tingkat kesadaran dan pengetahuannya mengenai bentuk dan akar masalah
ketidak adilan/diskriminasi, serta bagaimana orientasi ke depan dari
orang tersebut
Teori yang berpijak pada keadaan dimana jenis kelamin dipandang sebagai sebuah sumbu organisasi sosial yang fundamental dan tak bisa direduksi yang telah menempatkan perempuan dibawah lelaki. Teori feminisme dapat dibedakan menjadi tiga yaitu teori feminisme liberal, teori feminisme Marxis-Sosialis dan teori feminisme radikal.
1. Teori Feminisme Liberal
Teori
ini berpendapat bahwa pada dasarnya tidak ada perbedaan antara
laki-laki dan perempuan. Karena itu perempuan harus mempunyai hak yang
sama dengan laki-laki. Meskipun demikian, kelompok feminis liberal
menolak persamaan secara menyeluruh antara laki-laki dan perempuan.
Dalam beberapa hal masih tetap ada pembedaan antara laki-laki dan
perempuan. Bagaimanapun juga, fungsi organ reproduksi bagi perempuan
membawa konsekuensi logis dalam kehidupan bermasyarakat (Ratna
Megawangi, 1999: 228). Pada teori ini mengatakan bahwa perempuan
diintegrasikan secara total dalam semua peran, termasuk bekerja di luar
rumah. Dengan demikian, tidak ada lagi suatu kelompok jenis kelamin yang
lebih dominan. Organ reproduksi bukan merupakan penghalang bagi
perempuan untuk memasuki peran-peran di sektor publik.
2. Teori Feminisme Marxis-Sosialis
Teori
Feminisme ini bertujuan mengadakan struktur masyarakat agar tercapai
kesetaraan gender. Ketimpangan gender disebabkan oleh sistem kapitalisme
yang menimbulkan kelas-kelas termasuk di dalam keluarga. Teori ini mengadopsi teori praxis Marxisme,
yaitu teori penyadaran pada kelompok tertindas, agar kaum perempuan
sadar bahwa mereka merupakan ‘kelas’ yang tidak diuntungkan. Proses
penyadaran ini adalah usaha untuk membangkitkan rasa emosi para
perempuan agar bangkit untuk merubah keadaan (Ratna Megawangi, 1999:
225). Berbeda dengan teori sosial-konflik, teori ini tidak terlalu
menekankan pada faktor akumulasi modal atau pemilikan harta pribadi
sebagai kerangka dasar ideologi. Teori ini lebih menyoroti faktor
seksualitas dan gender dalam kerangka dasar ideologinya. Teori ini juga
tidak luput dari kritikan, karena terlalu melupakan pekerjaan domistik.
Marx dan Engels sama sekali tidak melihat nilai ekonomi pekerjaan
domistik. Pekerjaan domistik hanya dianggap pekerjaan marjinal dan tidak
produktif. Padahal semua pekerjaan publik yang mempunyai nilai ekonomi
sangat bergantung pada produk-produk yang dihasilkan dari pekerjaan
rumah tangga, misalnya makanan yang siap dimakan, rumah yang layak
ditempati, dan lain-lain yang memengaruhi pekerjaan publik tidak
produktif. Kontribusi ekonomi yang dihasilkan kaum perempuan melalui
pekerjaan domistiknya telah banyak diperhitungkan oleh kaum feminis
sendiri. Kalau dinilai dengan uang, perempuan sebenarnya dapat memiliki
penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki dari sector
domistik yang dikerjakannya (Ratna Megawangi, 1999: 143).
3. Teori Feminisme Radikal
Teori
ini berkembang pesat di Amerika Serikat pada kurun waktu 1960-an dan
1970-an. Meskipun teori ini hampir sama dengan teori feminisme
Marxis-sosialis, teori ini lebih memfokuskan serangannya pada keberadaan
institusi keluarga dan sistem patriarki. Keluarga dianggapnya sebagai
institusi yang melegitimasi dominasi laki-laki (patriarki), sehingga
perempuan tertindas. Feminisme ini cenderung membenci laki-laki sebagai
individu dan mengajak perempuan untuk mandiri, bahkan tanpa perlu
keberadaan laki-laki dalam kehidupan perempuan. Elsa Gidlow mengemukakan
teori bahwa menjadi lesbian adalah telah terbebas dari dominasi
laki-laki, baik internal maupun eksternal. Martha Shelley selanjutnya
memperkuat bahwa perempuan lesbian perlu dijadikan model sebagai
perempuan mandiri (Ratna Megawangi, 1999: 226). Karena keradikalannya,
teori ini mendapat kritikan yang tajam, bukan saja dari kalangan
sosiolog, tetapi juga dari kalangan feminis sendiri. Tokoh feminis
liberal tidak setuju sepenuhnya dengan teori ini. Persamaan total antara
laki-laki dan perempuan pada akhirnya akan merugikan perempuan sendiri.
Laki-laki yang tidak terbebani oleh masalah reproduksi akan sulit
diimbangi oleh perempuan yang tidak bisa lepas dari beban ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar